Kasus-Kasus Penindasan Terhadap Hak Asasi Manusia, Kebebasan Beragama, dan Perdamaian di Korea Selatan di Tengah Pandemi COVID-19

Selasa, 25 Agustus 2020

Nusaperdana.com - Pandemi COVID-19 ini sudah mewabah ke seluruh dunia, tidak terkecuali di Korea Selatan. Pada bulan Februari dan Maret, wabah besar-besaran yang terjadi di Korea Selatan menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak pertama di luar Tiongkok. Ketika warga Korea Selatan menjadi tidak puas dengan kegagalan pemerintah untuk bertanggung jawab menanggapi pencegahan awal COVID-19, pemerintah mulai menujukan kesalahan pada suatu kelompok keagamaan ' Gereja Yesus Shincheonji '(selanjutnya disebut Shincheonji) di wilayah Daegu, di mana wabah besar terjadi, sebagai sumber penyebaran. Pemerintah Korea Selatan, politisi, dan Dewan Kristen Korea Selatan (Christian Council of Korea) bekerja sama untuk memfitnah dan mengorbankan Shincheonji melalui media, sehingga terjadi penindasan terhadap hak asasi manusia, kebebasasan beragama dan perdamaian terhadap Shincheonji. 

Selama waktu puncak COVID-19 di Korea Selatan yaitu bulan Februari sampai masa Pemilihan Majelis Nasional di bulan April, pemerintah Korea Selatan melarang semua pertemuan sosial dan menganjurkan orang tinggal di dalam rumah. Tetapi berita yang palsu dan bias secara luas tersebar setiap hari melalui media yang menyatakan bahwa penyebaran virus COVID-19 itu karena Shincheonji.  Akibatnya, 200.000 anggota Shincheonji di Korea Selatan menderita, di mana 7.500 yang ditemukan telah menjadi korban pelecehan serius terhadap hak asasi manusia. Telah dilaporkan bahwa anggota Shincheonji telah mengalami serangan, kekerasan, perceraian, pemaksaan pindah keyakinan, penganiayaan di kantor akibat kebocoran informasi pribadi, pengunduran diri paksa, penolakan perawatan medis, dan penolakan fasilitas yang digunakan hanya karena mereka adalah anggota Shincheonji. Penganiayaan ini bahkan menyebabkan kematian 2 perempuan. Tindakan buruk kepada para wanita di Shincheonji dan pelanggaran hak asasi manusia yang ditutupi menjadi semakin parah terjadi.  

Pemerintah Korea Selatan mengatakan bahwa meluasnya COVID-19 adalah karena Shincheonji. Semua fasilitas Shincheonji secara paksa ditutup di bawah tuduhan pelanggaran terhadap prosedur pencegahan penyakit menular. Lima pejabat gereja dengan dalih menghalangi keadilan. Selain itu, dengan memanfaatkan fakta bahwa Ketua Shincheonji adalah sama dengan Ketua "Budaya Surgawi, Perdamaian Dunia, dan Pemulihan Terang" (Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light/ HWPL), sebuah kelompok perdamaian internasional, pemerintah telah berulang kali menindas perdamaian dengan mencabut registrasi HWPL.  

Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (The United States Commission on International Religious Freedom/ USCIRF) menyatakan keprihatinannya terhadap Gereja Shincheonji yang disalahkan atas penyebaran virus di Korea Selatan dan mendesak pemerintah Korea Selatan untuk berhenti melakukan tindakan pengkambinghitaman dan menyalahkan kelompok tertentu, yang seharusnya dapat menghormati kebebasan beragama dalam situasi COVID-19 ini,  

Meskipun terjadi penindasan ini, sekitar 4.000 orang di antara anggota Shincheonji yang merupakan pasien terkonfirmasi COVID-19 dan sudah sembuh berjanji untuk menyumbangkan plasma darah mereka secara cuma-cuma untuk pengembangan vaksin COVID-19. Sejak 13 Juli sampai 17 Juli, 500 anggota telah menyumbangkan plasma darah mereka, dan jumlah ini terus bertambah.  

Pasal 20, paragraf 1 dan 2 dari Konstitusi Republik Korea menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kebebasan beragama. Hal ini juga menyatakan bahwa agama dan politik itu terpisah. Selain itu, "jaminan dasar hak asasi manusia" (Pasal 10 dari Konstitusi) dan “larangan diskriminasi di semua bidang yaitu jenis kelamin, agama, politik, ekonomi, sosial dan kehidupan budaya” (Pasal 11 Konstitusi) juga ditentukan dalam konstitusi tersebut. 

Namun, berita tentang penindasan agama, hak asasi manusia, dan perdamaian terhadap Shincheonji yang sedang terjadi ini, terlepas dari apa yang tertulis dalam konstitusi, menyebabkan tokoh-tokoh agama, aktivis kemanusiaan, tokoh-tokoh politik dan sosial serta LSM di seluruh dunia menyatakan bahwa, "penindasan perdamaian, agama, dan hak asasi manusia terhadap mereka harus segera dihentikan", dan "kita harus menghentikan kebijakan yang salah dan berhenti menginjak-injak hak asasi manusia dari rakyat mereka sendiri." Mereka memperingatkan bahwa eksklusivisme pemerintah dapat membuat Korea dalam posisi bahaya.  

Selain itu, para kritikus terus mengkritisi bahwa pemerintah yang seharusnya memberikan informasi yang obyektif jika terjadi krisis dan bersikap netral untuk meminimalisir kerancuan sosial, justru menunjukkan niat politik dengan bias agama dan menyalahkan penyebaran virus ini pada satu organisasi.    

Organisasi Masyarakat dan LSM Mengambil Tindakan 

Pada tanggal 28 Februari, beberapa LSM di Eropa mengeluarkan pernyataan bersama berjudul "Coronavirus dan Shincheonji: Menghentikan Perburuan Penyihir" (Coronavirus and Shincheonji: Stopping the Witch Hunt), bahwa saat ini COVID-19 di Korea Selatan telah menjadi sasaran kebencian dan krisis hak asasi manusia sejak kasus pasien ke-31 yang telah dikonfirmasi berasal dari anggota Shincheonji.  

LSM yang berpartisipasi meliputi CESNUR (Center for Studies on New Religions), ORLIR (International Observatory of Religious Liberty of Refugees), FOB (European Federaon for Freedom of Belief), CAP-LC (Co-ordination of Associations and Persons for Freedom of Conscience), EIFRF (European Inter-religious Forum for Religious Freedom), FOREF (Forum for Religious Freedom Europe), LIREC (Center for Studies on Freedom of Belief, Religion, and Conscience), HRWF (Human Rights Without Frontiers), dan Soteria International. 

Dalam pernyataan tersebut dinyatakan bahwa, "Beberapa politisi Korea Selatan mengkambinghitamkan Shincheonji atas terjadinya epidemi virus, mungkin untuk menghindari tuduhan terhadap kesalahan mereka sendiri dalam mengatasi krisis", dan "daftar anggota Shincheonji yang diberikan kepada pihak berwenang telah bocor sebagian, mengakibatkan anggota Shincheonji dihina dan dipukuli di depan umum, dan beberapa dari mereka telah dipecat dari pekerjaan mereka."   

Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Selatan 

Beberapa lembaga pemerintah di Korea Selatan menjadi instansi pertama yang mengidentifikasi apakah ada pejabat mereka yang merupakan anggota Shincheonji. Departemen Kehakiman menginstruksikan penyelidikan skala nasional atas pegawai pemerintah di fasilitas pemasyarakatan untuk melaporkan apakah mereka atau keluarga mereka adalah anggota Shincheonji.  

Pada tanggal 26 Februari, seorang anggota perempuan Shincheonji dari Ulsan terjatuh hingga meninggal akibat dari kekerasan rumah tangga karena keyakinannya. Suaminya mengaku bahwa dia menyerang istrinya selama berbulan-bulan karena masalah agama. Pada hari kecelakaan itu, telah dilaporkan bahwa perempuan tersebut kembali dianiaya oleh suaminya karena suaminya memaksa dia untuk melepaskan keyakinannya.  

Pada tanggal 10 Maret, satu lagi kematian seorang anggota Shincheonji dilaporkan di Jung-eup. Provinsi Jeolla Utara. Saat media dipenuhi dengan berita palsu mengenai Shincheonii karena COVID-19, meningkatnya tindakan penganiayaan dari suaminya mengakibatkan seorang wanita lain jatuh hingga meninggal dunia dari apartemennya.  

Pada kasus pasien ke-31 yaitu anggota pertama Shincheonji yang terkonfirmasi positif virus, berita palsu yang memberitakan bahwa pasien ke-31 tersebut mengganggu pekerjaan rumah sakit dengan berkelahi dengan perawat dan informasi pribadinya telah tersebar luas melalui berbagai media online. Departemen Kepolisian Daerah Daegu menyatakan bahwa berita mengenai tindakan melawan tenaga medis itu tidak benar.  

Gereja Shincheonji menyatakan bahwa masalah pelanggaran hak asasi manusia sehubungan dengan virus COVID-19 ini sudah melebihi 7.500 kasus dan terus meningkat.

Penulis: Indri Juliana. Aktivis HAM, Kesetaraan Gender dan Perdamaian Dunia