
Nusaperdana.com,Pekanbaru--Dugaan kejanggalan dalam proses operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid kembali menjadi sorotan. Sejumlah pihak menilai langkah hukum praperadilan bisa menjadi jalan untuk menguji sah tidaknya proses penangkapan dan penetapan tersangka yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut.
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Riau (UIR), Dr. Yudi Krismen, mengatakan bahwa praperadilan merupakan mekanisme hukum penting yang disediakan negara untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prosedur dan tidak melanggar hak asasi manusia.
“Praperadilan adalah forum resmi untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan seseorang. Tujuannya melindungi hak-hak dasar warga negara agar tidak ada penyalahgunaan wewenang,” kata Dr. Yudi kepada Awak Media, Rabu (12/11/2025).
Ia menjelaskan, hakim praperadilan akan memeriksa apakah penangkapan dan penahanan dilakukan sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, hakim juga berwenang menilai apakah bukti yang digunakan untuk menahan seseorang telah memenuhi syarat hukum.
“Kalau ditemukan penangkapan atau penahanan tidak sah, hakim bisa memerintahkan pembebasan. Sebaliknya, kalau prosedurnya benar, hakim akan menegaskan bahwa penahanan sah,” jelas Yudi.
Menurutnya, dalam kasus yang menyita perhatian publik seperti OTT Gubernur Riau, langkah hukum berupa praperadilan sangat tepat apabila terdapat dugaan pelanggaran prosedur atau penetapan tersangka yang terlalu cepat tanpa dasar bukti kuat.
“Praperadilan bukan bentuk perlawanan terhadap penegak hukum, tapi mekanisme kontrol agar keadilan ditegakkan berdasarkan aturan, bukan asumsi atau tekanan publik,” tegasnya.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Gubernur Riau, Tata Maulana, dibebaskan setelah menjalani pemeriksaan intensif KPK selama dua hari. Ia diamankan bersama Gubernur Abdul Wahid pada Senin (2/11/2025) di Pekanbaru, namun akhirnya dilepaskan pada Rabu (4/11/2025) dini hari pukul 03.00 WIB.
Dalam keterangannya, Tata mengaku banyak kejanggalan dalam proses penangkapan tersebut. Ia menyebut, saat OTT berlangsung di Dinas PUPR sekitar pukul 13.00 WIB, Gubernur Wahid tengah menerima tamu resmi, termasuk Bupati Siak dan Kapolda Riau.
“Saya baru tahu ada OTT saat sore ketika mendampingi gubernur ngopi di Jalan Paus. Tak lama kemudian, KPK datang dan langsung menyita HP gubernur,” ujarnya.
Tata juga menyebut dirinya sempat disebut sebagai “target operasi”, padahal tidak pernah berhubungan dengan Dinas PUPR. Ia merasa tuduhan terhadap gubernur terkesan tergesa dan hanya berdasar pengakuan sepihak dari pejabat di dinas tersebut.
“Saya melihat tidak ada bukti elektronik, dokumen, atau rekaman yang menguatkan tuduhan. Hanya pengakuan sepihak. Ini yang membuat saya curiga prosesnya tidak wajar,” katanya.
Ia berharap aparat penegak hukum bekerja profesional dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
“Saya berdoa semoga ada keadilan bagi Bapak Gubernur. Masyarakat bisa menilai sendiri kejanggalan-kejanggalan yang terjadi,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Dr. Yudi Krismen menilai bila benar ada indikasi pelanggaran prosedur dalam OTT, maka pengajuan praperadilan oleh tim kuasa hukum Gubernur Abdul Wahid adalah langkah hukum yang tepat dan konstitusional.
“Praperadilan memberi ruang untuk menguji objektivitas penyidik dan memastikan penegakan hukum tidak menyimpang dari asas keadilan. Semua pihak harus menghormati proses hukum ini,” jelasnya.
Dr. Yudi juga menekankan bahwa setiap penegakan hukum harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.(Dikutip dari Riauaktual.com/Donni)