Histeris Korban Pencemaran Limbah PT SIPP : Pak, Hakim Tolong Tegakkan Hukum, Kok Terdakwa Ditangguhkan Penahanan

Ruslin Sianturi Salah Satu Pemilik Lahan yang jadi Korban Pencemaran Limbah PT SIPP

Nusaperdana.com,Bengkalis - Sidang lapangan pemeriksaan setempat kasus pencemaran limbah pabrik kelapa sawit PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) di Kecamatan Mandau, Bengkalis diwarnai drama histeris korban, Senin (17/7/2023).

Roslin Sianturi berteriak keras ke majelis hakim menagih keadilan hukum atas kasus pencemaran yang menyebabkan tanaman kelapa sawitnya rusak sejak tiga tahun silam. 

Aksi spontanitas Roslin ini pun menjadi perhatian sejumlah pihak yang hadir dalam sidang lapangan tersebut. Suara Roslin yang memekik mendesak hakim untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

"Pak Hakim, tolong kami. Sudah tiga tahun sawit kami rusak. Tidak ada niat baik perusahaan mengganti kerugian kami," kata Roslin kepada ketua majelis hakim, Bayu Soho Rahardjo yang hadir dalam sidang lapangan. Bayu juga merupakan Ketua Pengadilan Negeri Bengkalis.

Sidang lapangan dihadiri oleh tim jaksa penuntut Kejari Bengkalis, Dinas LHK Bengkalis, Kabag Hukum Setdakab Bengkalis serta dua terdakwa yakni Erick Kurniawan dan Agus Nugroho. Erick merupakan Direktur PT SIPP, sementara Agus adalah general manajer perusahaan tersebut.


Protes Penangguhan Penahanan

Roslin juga langsung mempertanyakan kepada hakim Bayu mengapa majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan terhadap kedua terdakwa Erick dan Agus jelang Ramadan lalu. Menurutnya, penangguhan penahanan terhadap kedua terdakwa aneh, lantaran sampai saat ini perusahaan tak pernah melakukan ganti rugi atas lahannya yang rusak akibat pencemaran limbah sawit.

"Ada apa ini Pak Hakim? Kok penangguhan penahanan mereka (Erick dan Agus) dikabulkan. Ada apa ini, Pak? Tolong berikan keadilan, Pak. Hukum harus ditegakkan," kata Roslin.

Terus dicecar oleh Roslin dengan suara keras, hakim Bayu lantas memberikan penjelasan. Ia menyebut penangguhan penahanan terhadap Erick dan Agus untuk membantu penyelesaian persoalan dengan korban.

"Kalau ditahan, bagaimana bisa diselesaikan. Justru untuk memberi ruang menyelesaikan yang seperti ini," jawab Bayu.

Namun Roslin justru menyanggah alasan tersebut. Menurutnya, sejak kedua terdakwa ditangguhkan penahanannya, tidak pernah ada itikad baik untuk melakukan pembicaraan dalam penyelesaian kasus pencemaran yang merusak lahannya.

"Gak ada Pak diselesaikan. Tidak pernah mereka (PT SIPP) mau menyelesaikan. Sampai saat ini tidak pernah ada pembicaraan," tegas Roslin.

Roslin yang tak puas dengan jawaban hakim Bayu ini pun terus mendesak agar putusan hakim bisa berpihak kepada dirinya sebagai korban. Bahkan, ia mengancam akan melaporkan penanganan perkara ini ke Mahkamah Agung (MA).

"Apa saya harus melaporkan ke Mahkamah Agung? Saya hanya menuntut kerugian yang saya alami. Tolong hakim bertindak adil," tegas Roslin.

Ketua tim jaksa penuntut Kejari Bengkalis, Zulikar Tanjung mengakui sidang pemeriksaan lapangan ini atas permintaan pihaknya. Tim jaksa ingin pembuktian lapangan bisa memperkuat dakwaan yang mereka sampaikan dalam perkara tersebut.

Saat ditanya apakah pemeriksaan lapangan tersebut sesuai dengan dakwaan jaksa, Zulikar secara meyakinkan menyebut temuan pemeriksaan setempat sinkron dengan dakwaan dan fakta persidangan.

"Itu sudah sangat jelas sekali. Kami meyakini dakwaan kami terbukti," kata Zulikar.

Namun saat ditanya pendapatnya tentang penangguhan penahanan oleh majelis hakim terhadap kedua terdakwa, Zulikar enggan menjawab.

"Kita satu pintu, itu silakan ditanya ke Kasi Intelijen Kejari Bengkalis," kata Zulikar.

Dr (Cd) Marnalom Hutahaean SH, MH selaku kuasa hukum korban Roslin menyatakan, aksi spontanitas kliennya sebagai bentuk pengawalan atas persidangan yang segera akan berakhir. Suara hati kliennya mestinya didengar oleh majelis hakim dan menjadi dasar pertimbangan dalam memutus perkara tersebut.

"Publik saat ini sudah mengawal persidangan. Maka palu hakim akan menjadi sorotan jika kelak putusam tidak berpihak pada korban," kata Marnalom didampingi anggota tim hukumnya Pandapotan Marpaung SH, MH.

Marnalom menegaskan, perbuatan PT SIPP diduga telah melanggar  pasal 98 ayat 1 atau pasal 99 ayat 1 dan atau pasal 104 dan atau pasal 114 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun ancaman hukuman pasal 98 ayat 1 yakni pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak denda Rp 10 miliar.

Sementara ancaman hukuman pasal 99 ayat 1 yakni pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar. Ancaman hukuman pasal 114 yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.

Sementara pelanggaran terhadap pasal 114 yakni setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

"Jadi, sangat jelas ancaman hukumannya sangat jelas. Bahkan ada tanggung jawab pemulihan lingkungan. Termasuk untuk melakukan ganti rugi atas kerugian yang dialami klien kami," kata Marnalom yang secara aktif mengawal kasus ini sejak 2 tahun silam.

Anggota tim hukum korban, Pandapotan Marpaung SH, MH juga menyesalkan tidak dilakukannya pemeriksaan setempat terhadap lahan kliennya. Padahal lahan kliennya nyata-nyata menjadi bukti adanya dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan perusahaan.

"Kami mempertanyakan mengapa majelis hakim tidak meninjau lahan klien kami. Padahal, lahan klien kamilah sebagai fakta adanya dampak pencemaran lingkungan yang telah terjadi," tegas Pandapotan.**

 

 



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar