Huler Wair, Tradisi Menyambut Tamu di Sikka Flores


Maumere - Indonesia sangat kaya akan aneka tradisi dan budaya yang diwariskan para leluhur. Tidak terkecuali, masyarakat Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat Kabupaten Sikka terkenal sangat kental dengan adat dan budayanya. Salah satu tradisi masyarakat Sikka yang terus hidup hingga kini adalah Huler Wair. Huler Wair ini merupakan tradisi menerima tamu siapa pun yang datang berkunjung ke Sikka. Jumat (3/5/2019) seperti yang dilansir, Kompas.com menyaksikan tradisi Huler Wair di halaman kantor Kredit Pintu Air, di Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Tradisi ini dibuat untuk menyambut Wakil Gubernur NTT, Yosef Nai Soi dalam acara peresmian gedung Kopdit Pintu Air yang baru selesai dibangun. Sebelum memasuki gedung, Wagub NTT bersama rombongan terlebih dahulu disambut dengan tradisi ini. Satu orang tua yang berpakaian adat lengkap membacakan syair-syair yang dalam bahasa Sikka disebut Kleteng Latar. Setelah syair dibacakan, tua adat ini menyirami tamu dengan air kelapa yang dipegang oleh satu orang perempuan. Air kelapa ini disiram menggunakan 2 helai daun Huler yang masih muda. Yosef Gervasius, salah satu tokoh adat yang hadir dalam acara ini menjelaskan Huler Wair merupakan tradisi menyambut tamu siapa pun yang datang berkunjung ke Kabupaten Sikka. Ritual Huler Wair ini dilakukan dalam acara apa pun di Kabupaten Sikka. Wagub NTT, Yosef Nai Soi disambut dengan tradisi Huler Wair di kantor Kopdit Pintu Air, di Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Jumat (3/5/2019). Ia menuturkan, tujuan dari ritual itu adalah agar tamu yang datang terbebas dari bahaya. "Sebelum tamu dan kita semua memulai kegiatan terlebih dahulu membuat ritual Huler Wair. Kita meminta restu kepada ibu bumi dan bapa langit, bahwa hari ini ada kegiatan seperti ini. Ibu bumi dan bapa langit memberi kesejukan. Air dan daun tadi memberikan kesejukan, kesegaran, dan kedamaian bagi tamu-tamu yang hadir di tempat ini. Tanpa ada bumi, tanpa ada ibu kita tidak bisa hidup. Tanpa bapa langit, bulan dan matahari kita tidak bisa hidup. Itulah makanya kita membuat ritual ini sebelum memulai kegiatan," jelas Yosef Gervasius kepada Kompas.com. "Ini juga dibuat untuk meminta kepada para leluhur agar tamu yang datang terhindar dari segala macam bahaya selama berada di tempat ini," sambung Yosef. Ia menerangkan, dalam ritual ini, daun yang digunakan untuk memercik air kelapa kepada tamu diambil dari satu pohon yaitu pohon Huler. Pohon ini ini dipilih karena selalu tumbuh subur, baik pada musim hujan maupun musim panas. Sementara air kelapa merupakan lambang kesejukan dan kesucian. Karena air kelapa itu belum dijamah oleh apa pun. "Air kelapa itu betul-betul suci. Belum dijamah oleh siapa-siapa. Air itu berada di atas. Untuk mendapatkan air kelapa itu kita mesti berjuang, setelah itu ada kupas kulit luar, ada lagi saputnya, kemudian ada tempurung, baru ada airnya," terang Yosef. Sementara itu, Ketua Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano mengungkapkan Indonesia kaya akan tradisi dan budaya yang diwariskan para leluhur. Ia mengatakan, tradisi dan budaya merupakan identitas bangsa yang perlu dijaga dan dilestarikan agar tidak mati dan hilang. "Sejak berdirinya Koperasi Pintu Air sampai sebesar ini tidak terlepas campur tangan para leluhur. Karena itu, untuk menghargai leluhur, kita melestarikan tradisi ini pada setiap acara apa pun, termasuk dalam peresmian gedung ini. Sebagai makhluk berbudaya, kita harus melakukan ritual adat dalam kegiatan ini," ungkap Yakobus. Dalam peresmian gedung Kopdit Pintu Air di Kabupaten Sikka, NTT, Jumat (3/5/2019), semua anggota koperasi dari 47 cabang di Indonesia wajib mengenakan kain tenun ikat masing-masing daerah. Ia menjelaskan, selain ritual adat, dalam kegiatan peresmian gedung Kopdit Pintu Air, semua anggota koperasi dari 47 cabang di Indonesia wajib mengenakan kain tenun ikat masing-masing daerah. "Pesannya adalah Indonesia ini berbeda tetapi satu. Bhinneka Tunggal Ika itu harus berada dalam kebersamaan secara konkret. Tidak bisa hanya kata-kata. Kata-kata boleh bersatu, tetapi faktanya tetap berseberangan. Bagi saya, koperasi ini bukan hanya sebagai wadah ekonomi, tetapi juga sebagai corong pemersatu bangsa. Jadi, ini adalah Indonesia. Kita memakai busana kain tenun ikat masing-masing daerah sebagai wujud nyata dari Bhinneka Tunggal Ika," kata Yakobus.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar