Israel dapat Ancaman 'Ganas' dari Iran


Nusaperdana.com - Iran mengancam akan menghancurkan Israel jika coba-coba mengganggu kepentingannya di Timur Tengah. Ancaman ini disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi.

Selain bermusuhan dengan Amerika Serikat, Iran juga bermusuhan dengan Israel, yang merupakan sekutu dekat negara yang dipimpin Donald Trump tersebut.

Dulunya, Iran dan Israel merupakan sekutu, namun hubungan baik itu berubah menjadi permusuhan.

Warga Yahudi sudah lama tinggal di Persia (sekarang Iran) selama lebih dari 2.700 tahun dan tradisi Yahudi juga menganggap wilayah itu sebagai tempat mengungsi, terutama di masa kepemimpinan Raja Agung Sirus di abad keenam sebelum Masehi.

Setelah Israel berdiri pada 1948, ketika Irak memburu warga Yahudi dan mereka melarikan diri untuk tinggal di Israel, Iran menjadi tempat mereka transit. Orang-orang Iran menyambut mereka dengan ramah, seperti dikutip dari laman Haaretz.

Secara resmi Iran menentang rencana PBB membagi wilayah Palestina pada 1947 dan pendirian negara Israel. Bagi Iran, Israel dipandang sebagai kendaraan (lewat komunitas Yahudi-Amerika) untuk mendapat dukungan dari Amerika Serikat.

Negeri Paman Sam itu juga sedang mencari sekutu dalam persaingannya berebut pengaruh dengan Uni Soviet di kawasan Timur Tengah dan dunia keseluruhan.

Kini persaingan antara Iran dengan dunia Arab dipandang sebagai konflik bertema agama yakni soal minoritas Syiah (dipimpin Iran) versus mayoritas Sunni (didominasi Arab Saudi).

Namun di era 1950-an dan 1960-an, Iran merasa terancam dengan gerakan Pan-Arabisme dukungan Soviet yang mengambil sosok Gamal Abdul Nasser, pemimpin revolusi Mesir pada 1952 sebagai simbol.

Di masa Perang Dingin, Iran yang kaya minyak menjadi sekutu penting AS di Timur Tengah.

Namun di Iran sendiri kelompok muslim dan sekular saling bersitegang. Terlebih lagi pemimpin spiritual seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini meminta Iran bergabung dengan negara Arab dalam berperang melawan Israel.

Dari sudut pandang Israel, Iran termasuk dalam 'Doktrin Batas Luar' dari perdana menteri pertama Israel Ben Gurion.

Doktrin itu menyebut Israel harus menjalin hubungan kerja sama dengan musuh dari negara Arab (yakni Iran, Turki, dan Ethiopia, termasuk Kristen Maronit di Libanon dan Kurdi di Irak).

Iran pernah menjual minyak ke Israel di saat negara-negara kaya minyak lain tidak mau melakukannya. Negeri Mullah itu juga menjadi importir penting barang-barang Israel, termasuk di sektor pertanian, perumahan, kedokteran, proyek infrastruktur, dan bahkan kerja sama pelatihan intelijen bagi polisi rahasia di bawah komando Shah, Savak.

Pada 1960-an dan 1970-an, Israel bekerja sama dengan banyak kontraktor dan penasihat militer dari Teheran.

Sebuah sekolah berbahasa Ibrani juga dibuka di Teheran untuk anak-anak Israel. Dan maskapai El Al beroperasi melakukan penerbangan rutin antara Tel Aviv dan Teheran.

Namun kemesraan di masa itu perlahan pudar seiring perubahan geopolitik di kawasan. Kematian Nasser pada 1970 dan naiknya Anwar Sadat membuat hubungan Mesir dengan Iran kian erat.

Lebih jauh lagi, kesepakatan antara Iran dan Irak pada 1975 yang mengharuskan Iran menghentikan pasokan senjata untuk pasukan separatis Kurdi membuat kedua negara itu buat sementara waktu jadi lebih bersahabat. Sebagai dampaknya hubungan Israel dan Iran jadi menjauh.

Di dalam negeri para mullah di Iran terus mengindoktrinasi rakyat tentang segala keburukan Israel. Ketika Shah digulingkan pada Revolusi Islam 1979, dan kepemimpinan sekuler diganti oleh pemerintahan Islam yang tidak kalah mengekang, hubungan dengan Israel menjadi salah satu yang pertama kali dikorbankan.

Sekembalinya Khomeini dari pengasingan di Prancis pada 1 Februari 1979, tiga pekan kemudian, pada 18 Februari, dia memutus hubungan dengan Israel.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar