Sepenggal Kisah Syeikh Abdul Qadir, Ulama Penyebar Islam di Daerah Natal


Nusaperdana.com, MANDAILING - Sumatera Utara, tidak hanya dikenal dengan keunikan budaya dan keberadaan marganya. Lebih dari itu, Mandailing ternyata memiliki banyak ulama yang mengharumkan nama Indonesia.

Selain Syeikh Musthafa Husein Nasution Al Mandili, pendiri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, ada banyak sosok ulama Mandailing yang menjadi kebanggaan Indonesia. Di antaranya Syeikh Junid Thala, Syeikh Abdul Qadir Bin Abdul Mutollib Al-Mandili, Syeikh Abdul Ghani, Syeikh Abdul Fattah (penyebar Islam di daerah Natal) dan masih banyak ulama besar lainnya.

Kali ini penulis hanya menceritakan sepenggal kisah salah satu ulama Mandailing yang terkenal di Makkah dan bumi Melayu di Malaysia. Ia adalah Abdul Qadir bin ‘Abdul Muthalib bin Hassan Al-Andunisi Al-Mandili Al-Makki Asy-Syafi’I atau dikenal dengan nama Syeikh Abdul Qadir Al Mandili.

Syeikh Abdul Qadir dilahirkan pada tahun 1329 Hijriyah atau tahun 1910 di di Desa Sigalangan, Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia dilahirkan dari keluarga petani dan dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing. Ayahnya bernama Abdul Muthalib bin Hassan.

Sebenarnya ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu. Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili, kelahiran Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di bumi Melayu baru kemudian terkenal setelah menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Syeikh Abdul Qadir Al Mandili awalnya mendapat pendidikan di Sekolah Belanda pada tahun 1917 dan lulus Darjah Lima pada tahun 1923.

Setahun setelah itu beliau berhijrah ke Kedah, Malaysia, untuk mendalami ilmu agama. Setelah menimba ilmu di Kedah, Syeikh Abdul Qadir hijrah ke Makkah dan kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Walaupun menjadi guru di Masjidil Haram, hubungannya dengan ulama dan para penuntut ilmu di Melayu sangat akrab.

Awalnya, Syeikh Abdul Qadir menimba ilmu kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar di Pondok Penyarum, Pendang. Setelah itu pindah ke Pondok Air Hitam untuk berguru kepada Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun. Pada tahun 1926, Syeikh Abdul Qadir belajar di Madrasah Darul Saadah Al-Islamiyah (Pondok Titi Gajah) yang saat itu dipimpin Syeikh Wan Ibrahim Abdul Qadir atau lebih terkenal dengan panggilan Pak Chu Him.

Syeikh Abdul Qadir belajar kitab kepada Pak Chu Him selama 10 tahun. Beliau sangat tekun belajar dan penuh semangat. Pada saat cuti, Syeikh Abdul Qadir bekerja memukul padi karena lokasi pondok yang berada di areal pertanian.

Dikisahkan Syeikh Abdul Qadir punya amalan saat bekerja memukul padi, ia selalu belajar dan menghafal kitab. Alhasil, ia menjadi anak murid kesayangan Pak Chu Him dan diangkat menjadi guru pembantu di pondok Pak Chu Him.

Pada tahun 1936, Syaikh Abdul Qadir berangkat ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia bertemu kakaknya Pak Chu Him yaitu Syeikh Wan Ismail Abdul Qadir atau lebih dikenali sebagai Pak Da ‘Ail. Pak Da ‘Ail pada ketika itu merupakan ulama besar di Makkah.

Di sana, beliau tidak hanya berguru kepada Pak Da ‘Ail. Tetapi juga beguru kepada ulama lain seperti Syeikh Al-Maliki, Syeikh Hassan Al-Masyat, Syeikh Muhammad Al-Arabi, Syeikh Sayyid Al-Alawi, Syeikh Muhammad Ahyad, Syeikh Hasan Yamani, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Umar Hamdan Mahrusi, Syeikh Yasin Isa Al-Fadani dan Syeikh Abdullah Lahji.

Karena kegigihannya mendampingi ulama-ulama besar itu, Syaikh Abdul Qadir semakin faqih menguasai ilmu tauhid, tasawwuf, fiqh dan hadits. Ketika berada di Makkah, ia menghabiskan waktunya di Masjidil Haram. Karena keluasan ilmunya, akhirnya Syaikh Abdul Qadir diangkat menjadi guru di Masjidil Haram. Syeikh Abdul Qadir juga diberi izin untuk mengajar di Kota Suci itu.

Pengajiannya selalu ramai dan dibanjiri para penuntut ilmu khususnya yang datang dari Tanah Melayu dan Indonesia. Setiap pengajian, tidak kurang dari 200 orang datang untuk belajar. Ia mengajarkanbebergai bidang ilmu termasuklah ilmu nahwu, shorof, hadits, musthalah hadith, tafsir, fiqh syafi’i dan sebagainya.

Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir pernah ditawarkan berbagai jabatan termasuk sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan. Presiden Soekarno juga pernah menawarkan beliau jabatan Mufti Indonesia manakala Al-Malik Saud, Raja Arab Saudi menawarkan jawatan sebagai Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar. Tetapi beliau menolaknya karena ingin memusatkan perhatiannya menjadi pengajar di Masjidil Haram.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai penulis hebat. Banyak karya kitab-kitab yang ditulisnya digunakan sebagai teks pengajian di sejumlah pondok dan masjid. Tulisannya antara lain seputar ilmu usuluddin, tasawwuf, fiqh, politik, pendidikan dan perundangan. Ketika berada di Kota Makkah, Syeikh Abdul Qadir telah menghasilkan 24 kitab dalam bahasa Melayu dan Arab.

Di antaranya Kitab “Risalah Pokok Qadyani”. Kemudian Al-Mazhab atau Tiada Haram Bermazhab, kitab ini juga ditulis pada tahun 1958 mengkritik pemikiran Kaum Muda. Selain itu “Pendirian Agama Islam”. Kitab ini ditulis pada tahun 1956 dan membicarakan tentang masalah ideologi ciptaan manusia seperti kapitalisme, sosialisme dan komunisme serta percanggahannya dengan aqidah dan pemikiran Islam.

Kemudian ada Tuhfat Al-Qari Al-Muslim Al-Mukhtarah Mimma Ittifaqa Alaih Al-Bukhari wa Muslim, kitab ini ditulis pada tahun 1952. Ada juga Kitab tentang Haji yang ditulis pada 1953 dan masih banyak kitab lainnya. Menjelang akhir hayatnya, Syeikh Abdul Qadir tetap gigih mengajar meskipun dalam keadaan sakit. Apabila ditanya oleh muridnya apakah beliau sudah sembuh, Syeikh Abdul Qadir menjawab, “Kalau menangis pun bukan nak lega”, demikian orang Melayu menuturkannya.

Seorang ulama bernama Syeikh Zakaria pernah mengatakan, “Di samping wataknya yang bagus, akhlaknya yang mulia, tabiatnya yang indah, dia juga dicintai di dunia intelektual, dia selalu memandangnya dengan penuh penghargaan dan penghormatan.”

Setelah menetap 29 tahun di Makkah dan mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 (18 Rabiul Akhir 1385 Hijriyah), Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili mengembuskan nafas terakhir pada usia 63 tahun setelah menderita penyakit di bagian kakinya. Para ahli medis menyarankan agar penyakit itu dioperasi saja, akan tetapi ia menolaknya.

Pada musim haji tahun 1384 Hijriyah (tahun 1964), beberapa ahli medis Indonesia memberinya saran agar Syeikh Abdul Qadir berobat ke Indonesia. Beliau pun menyetujui saran tersebut. Akan tetapi karena di sana juga hendak dilakukan operasi, beliau kembali menolaknya. Akhirnya Syeikh Abdul Qadir kembali ke Makkah. Ia juga sempat mengunjungi Madinah Al-Munawwarah, kota Nabi Muhammad SAW.

Seorang penulis Al-Jawahir Al-Hissan mengatakan, “Sekembalinya dari Madinah, beliau wafat pada tahun 1385 Hijriyah. Yang menyampaikan berita wafatnya padaku adalah Al-Ustaz ‘Abdul Ghani Al-Mandili yang saat itu aku masih berada di Masjid Nabawi Madinah Al Munawwarah. Semoga Allah merahmati dan memberinya berkah.”

Syeikh Abdul Qadir wafat pada tahun 1965. Masyarakat Makkah pun berduka, para pelajar kehilangan ulama panutan mereka. Isak tangis pun mengiringi kepergian seorang ulama yang alim. Banyak para pelayat dan yang ikut mensalatkan beliau. Syeikh Abdul Qadir Al-Mandili dimakamkan di Pekuburan Ma’la Kota Makkah.**

Sumber: okezone.com



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar