Mengenyam Pendidikan SMA di Pelosok Inhil: Kasian Kami Kalau Hujan


Nusaperdana.com, Tembilahan - Jarum jam mengarah pukul 7.30 WIB, irama Bel seadanya pun berdering. Waktunya mereka masuk ke gedung belajar seluas 8x9 meter, total 28 siswa itu terkumpul memenuhi kursi dan meja di dalamnya.

Sekilas, mereka semua terlihat seperti bergabung, namun sebenarnya tidak. Ada dua helai kain berwarna hijau pekat, kurang lebih 6 meter panjangnya. Kain itu mereka gunakan sebagai pembatas antara kelas I, II dan III.

Pukul 7.30 WIB itu, kain pembatas belum dibentangkan. Sebab, mereka diharuskan mengaji terlebih dahulu hingga 30 menit lamanya, rutin setiap hari. Setelah itu kain pembatas diturunkan dan proses belajar-mengajar pun berlangsung.

Ironinya, setiap pagi pandangan mereka ke arah diagonal adalah langit yang biru. Pasalnya dinding belakang sekolah ini tidak tertutup sepenuhnya. Di sana hanya ada Terpal, keterbatasan bahan bangunan mengharuskan ruang belajar mereka itu terbuka lebar.

Kondisi tersebut dialami siswa/i di Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Syabbanul Akhyar di Sungai Riti. Keberadaannya cukup terisolir, daerah Sungai Riti itu terletak di pelosok Desa Pasir Emas, Kecamatan Batang Tuaka, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) - Riau.

Meski begitu, mereka yang berstatus pelajar di sana tak menyurutkan semangatnya. “Jarang mereka tak sekolah, kecuali ada hambatan tertentu. Mereka juga keliatan semangat kali sekolah,” kata Pengelola SMA Syabbanul Akhyar, Mistar S.Pd kepada MonitorRiau.com, Selasa (3/12/2019) kemarin.

Seperti biasanya, pukul 9.30 WIB mereka istirahat hingga 30 menit kedepan, dikesempatan itu tidak banyak yang mereka lakukan, hanya berdiam diri di teras sekolah menunggu irama bel berikutnya. Sebenarnya di halaman sekolah ada lapangan Bola Volly. Lapangan olahraga itu tak sepenuhnya bisa dimanfaatkan, terutama dimusim hujan.

Sebagian dari mereka ada yang jajan, jajanan mereka serba murah hanya makanan ringan Rp 500an perbungkus. Warung itu difasilitasi oleh pengelola sekolah, sebab Mistar sendiri telah memutuskan menetap tinggal di sana, tepat di samping gedung sekolah luasnya hanya 3x5 meter.

Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB saatnya mereka pulang. Ketika itu, seragam putih abu-abu memperlihatkan santunnya. Satu-persatu menyapa salam hormat kepada guru secara bergilir, lalu mereka pun turun dari gedung itu.

Meski di daerah berpenduduk kurang dari 40 KK, namun para pelajar itu tak terpinggirkan dengan berbagai kegiatan Ekstrakulikuler seperti Pramuka, Habsyi dan lain sebagainya.

Sebagai perintis, Mistar bersama 4 guru lainnya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan belajar mereka. Berbagai upaya dilakukan sedemikian rupa demi kelancaran aktiftas belajar di sana.

SMA tersebut akhirnya sukses dibangun secara gotong-royong oleh guru dan murid sejak 3 tahun yang lalu, tepat pada tahun 2016. Sampai hari ini, sekolah itu masih berinduk kepada SMA Nurul Ikhlas Desa Sungai Raya, Kecamatan Batang Tuaka.

Sebelum berdiri sebagai SMA Syabbanul Akhyar, lembaga pendidikan formal itu berdiri sebagai SMA Terbuka kurang lebih 1 tahun berlalu. Sama seperti SMP Terbuka yang berada di sebelahnya, sampai hari ini masih berstatus sebagai SMP Terbuka Tempat Kegiatan Belajar (TKB) Desa Pasir Emas.

“Awalnya, kami pinjam gudang Padi milik masyarakat hampir 2 tahun untuk sekolah anak-anak ini, setelah gedung ini dibangun baru pindah,” tambahnya.

Tidak mudah pindah belajar ke gedung berdinding Terpal itu. Pria asal Parit 10 Tembilahan Hulu ini harus menyewa tanah masyarakat untuk bercocok tanam Padi terlebih dahulu, tanah yang disewa seluas 12x 150 meter. Katanya, setiap penghasilan bagi dua dengan pemilik tanah. Setiap penghasilan ia sisihkan untuk membangun SMA.

“Kita kerjakan itu demi membangun gedung (sekolah, red) ini. Alhamdulillah, sudah bisa kita gunakan,” tutur alumni FIAI Unisi itu.

Bahkan saat ini, pria kelahiran Desember 1986 di Tembilahan ini kembali menyewa tanah milik masyarakat. Hasilnya, ia gunakan membayar hutang pembelian 100 keping Seng senilai Rp 5 juta.

“Sudah setahun menyewa, setahun lagi kami bercocok tanam di situ lunas hutang. Sebelumnya, atap gedung kami ini parah lagi,” ujarnya seraya menahan Curhat.

Tidak banyak bicara soal pendapatan, yang jelas kata Mistar digaji seperti halnya honorer biasa. Ratusan Ribu Rupiah pertriwulan/tiga bulan sekali dari sekolah induk. “Panggilan jiwa aja, kalau mencari kesejahteraan ke luar kasian sekolah ini,” imbuhnya.

Pada intinya, Mistar dan beberapa guru lainnya membantu masyarakat setempat agar tidak jauh berangkat mengenyam pendidikan tingkat SLTA. Sebab sebagaimana diketahui, posisi lembaga pendidikan tingkat SLTA lainnya cukup berjarak dari kampung mereka.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar