Sudah 10 Tahun Terpilih sebagai Kades, Abdullah Tak Kunjung Dilantik


Nusaperdana.com, Ambon - Perjuangan untuk mendapatkan keadilan terus dilakukan Abdullah Elwuar, kepala desa terpilih Jikumerasa, Kecamatan Liliali, Kabupaten Buru, Maluku.

Abdullah terpilih saat pemilihan kepala desa yang berlangsung secara demokratis di desanya 10 tahun silam atau tepatnya pada 30 Juni 2010.

Namun, hingga saat ini ia belum juga dilantik sebagai kepala desa.

Berbagai langkah telah dilakukan Abdullah untuk mendapatkan haknya. Seperti mengadu ke Pemerintah Kabupaten Buru, Pemerintah Provinsi Maluku, DPRD Maluku, Komnas HAM perwakilan Maluku hingga Ombudsman.

Namun, keadilan yang dicari tak juga didapatkan.

“Saya sudah mengadu kemana-mana untuk mencari keadilan tapi saya belum juga mendapatkan hak dan pengakuan dari negara,” kata Abdullah kepada Kompas.com, Senin (2/3/2020).

Abdullah menceritakan, ia mencalonkan diri sebagai kepala desa di Jikumerasa pertama kali pada tahun 2005.

Namun, saat itu ia gagal. Kemudian pada tahun 2010 ia kembali mencalonkan diri dan terpilih.

Pada saat maju di tahun 2010, ada lima calon kepala desa yang ikut bertarung.

Saat itu semua calon telah menandatangani kesepakatan siap kalah dan menang di atas meterai 6.000.

Semua calon juga telah mengikuti semua tahapan dan pemberkasan, baik di tingkat desa hingga mengikuti fit and proper test di kabupaten dan dinyatakan lolos dan debat terbuka.

Setelah terpilih sebagai kepala desa, semua rival Abdullah ikut memberi selamat dan ikut menandatangani berita acara hasil penghitungan suara.

Proses pemilihan yang berjalan demokratis membuat  tidak ada satu pun calon kepala desa saat itu yang melayangkan protes atas hasil tersebut. 

“Semua calon tandatangani berita acara, tidak ada yang permasalahkan sampai saat ini. Panitia kemudian membuat SK penetapan kades terpilih, setelah itu panitia serahkan ke Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk ditindaklanjuti ke Bupati melalui kecamatan,” ungkap Abdullah.

Dia mengaku setelah berkas hasil pemilihan kepala desa sampai ke kecamatan, saat itu pula camat langsung memproses berkas tersebut dan langsung disahkan.

Selanjutnya dibawa ke Pemkab Buru untuk diproses.

“Tapi saat berkasnya mulai proses di bidang pemerintahan, di situlah dia mulai terganjal. Pada waktu itu bupati Buru yang masih dijabat Husni Hentihu menyampaikan pemilihan tidak sah,” katanya.

Bentuk tim

Merasa dijegal, Abdullah kemudian membentuk tim yang melibatkan tokoh masyarakat, adat, agama, dan tokoh pemuda.

Ini untuk mengawal proses pelantikan dirinya sebagai kepala desa terpilih.

Saat itu tim kemudian menemui bupati Buru di kantornya. Namun, bupati tetap bersikeras pemilihan kepala desa Jikumerasa tidak sah.

“Saat itu bupati dengan lantang menyatakan pemilihan tidaksah. Lalu waktu itu tim bertanya kepada Pak Bupati 'kalau pemilihan tidak sah tidak sahnya di mana? Lalu beliau menjawab 'ada kesahan pada BPD',” ujarnya.

Setelah pertemuan itu, Abdullah kemudian mengirimkan surat secara resmi ke bupati buru untuk mempertanyakan statusnya sebagai kepala desa terpilih.

Surat yang dilayangkannya itu juga ditembuskan ke Gubernur Maluku yang saat itu masih dijabat Karel Albert Ralahalu.

Hasilnya, Pemprov Maluku menanggapi surat tersebut dan meminta hasil pemilihan kepala desa di Jikumerasa harus diproses dan diselesaikan.

Namun, rekomendasi Pemprov Maluku tidak juga diindahkan Pemkab Buru.

Meski terus mendapat tantangan, Abdullah terus berjuang untuk mendapatkan haknya.

Harapan untuk segera dilantik sebagai kepala desa terpilih mulai terbuka saat kepemimpinan di Kabupaten Buru beralih dari Husni Hentihu ke Ramli Umasugi pada 2012.

Saat itu, Abdullah berinisiatif menemui Bupati Ramli Umasugi di kantornya guna membahas masalah di desanya.

Namun, Abdullah tidak juga diterima bupati meski berulang kali mencoba menemuinya.

“Saya datang ke kantor sejak pagi jam 8, saya antre sampai jam kantor selesai, tapi saya tidak pernah diterima padahal orang lain diterima. Itu bukan sekali, tapi beruang kali,” katanya.

Merasa dizalimi   

Berulang kali mengadu ke Pemkab Buru, Abdullah tidak juga mendapatkan jawaban pasti. Malah yang diterima adalah perlakuan tidak menyenangkan.

Meski terus dijegal, Abdullah mengaku tidak pernah putus asa dan menyerah untuk terus berjuang mendapatkan hak politiknya  dan pengakuan dari negara.

Bagi Abdullah, keadilan harus tetap diperjuangkan meski banyak rintangan yang menghadang.

“Saya ini benar-benar merasa sangat dizalimi, tapi demi kehormatan keluarga dan juga warga yang telah memilih saya, saya harus tetap berjuang karena bagi saya kebanaran dan keadilan tidak bisa dikalahkan,” ungkapnya.

Karena tidak direspons oleh Pemkab Buru, dia kemudian mencoba mengadu ke pihak lainnya.

Pada 2015, Abdullah melayangkan surat pengaduan ke Komnas HAM perwakilan Maluku.

Saat itu, Komnas HAM membalas surat tersebut dan mengeluarkan rekomendasi kepada Pemkab Buru untuk segera menindaklanjuti hasil pemilihan kepala desa di Jikumerasa.

Namun lagi-lagi, tiga surat rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM ke Pemkab Buru tidak juga diindahkan.

“Dari Komnas HAM itu sudah tiga kali mengeluarkan rekomendasi ke Pemkab Buru. Suratnya itu meminta saya dilantik tapi sama saja tidak diindahkan, semua surat dari Komnas HAM masih saya simpan,” katanya.

Menurut Abdullah, pada 2018 ia juga melayangkan surat ke Gubernur Maluku yang saat itu dijabat Said Assagaff.

Surat tersebut kemudian ditanggapi langsung oleh Wakil Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua atas nama gubernur.

Dalam surat itu, gubernur meminta Pemkab Buru untuk segera menindaklanjuti hasil pemilihan kepala desa Jikumerasa.

Ini karena setelah dikaji oleh Biro Hukum Pemerintah Provinsi Maluku, proses pemilihan kepala desa Jikumerasa telah berjalan demokratis dan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Tapi lagi-lagi permintaan Gubernur Maluku kala itu ditolak oleh Pemkab Buru. Kalau memang bupati biang pemilihan kades itu tidak sah, jangan sampaikan secara lisan tapi buat dalam sebuah SK secara tertulis. Karena negara ini berdasarkan sistem pemerintahan bukan kerajaan,” ujarnya.

Berselang setahun, tepatnya pada 2019, Abdullah kembali melayangkan surat ke Komisi A DPRD Maluku terkait masalah tersebut.

DPRD pun merespons dengan mengunjungi desa tersebut dan meminta penjelasan dari pihak panitia pemilihan kepala desa dan juga BPD setempat.

Saat itu semua pihak yang terlibat dalam pemilihan kepala desa Jikumerasa pada tahun 2010 mengaku ke Komisi A DPRD bahwa pemilihan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Setelah pertemuan itu, Komisi A kemudian mengundang Abdullah ke DPRD Maluku untuk membahas masalah itu.

Pemkab Buru saat itu mengutus Kabag hukum dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), sedangkan Pemprov Maluku mengutus Biro pemerintahan Desa.

“Dalam tersebut keputusannya harus dilantik, tapi saya tidak tahu mengapa sampai sekarang saya tidak juga bisa dilantik. Jadi saya ini merasa sangat dizalimi,” ungkapnya.

Abdullah menilai keputusan Pemkab Buru yang tidak melantik dirinya sebagai kepala desa karena masalah politik.

"Ini mungkin karena masalah politik, dendam politik saya berpikirnya begitu,” ujarnya.

Tunggu keputusan

Kuasa hukum Abdullah Elfuar, Wahyu Ingratubun mengakui kliennya telah menempuh sejumlah langkah, baik dengan menyurati maupun datang langsung ke Pemkab Buru.

Abdullah juga sudah mengadu ke sejumlah lembaga berwenang. Namun, masalah tersebut tidak kunjung selesai.

Dia menyebut, baik Komnas HAM, Komisi A DPRD maupun Pemprov Maluku semuanya telah memerintahkan agar Pemkab melantik Abdullah sebagai kepala desa Jikumerasa.

Secara khusus ia juga telah menemui Bupati Buru terkait masalah tersebut. Namun, Bupati Ramli Umasugi mengaku masalah tersebut harus ditelaah dulu oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Tahun 2018 itu saya ketemu dua kali dengan Bupati Buru dan saya bawa rekomendasi gubernur. Tapi bupati bilang tunggu telaah dari Mendagri. Padahal kan tidak perlu lagi ke Mendagri karena gubernur itu kan perpanjangan tangan  perintah pusat. Gubernur telah mengeluarkan rekomendasi sehingga apa yang menjadi kebijakan gubernur harusnya ditindaklanjuti,” ungkapnya.

Wahyu menyebut sesuai ketentuan yang berlaku, kepala desa Jikumerasa harusnya sudah dilantik sebulan setelah terpilih, jika tidak ada kendala dan gugatan hukum dari pihak lain.

Namun, faktanya kliennya tidak juga dilantik.

Saat ini pihaknya tidak bisa menggugat persoalan itu ke pengadilan. Ini karena hingga kini belum ada satu pun keputusan tertulis dari Pemkab Buru yang membatalkan hasil pemilihan atau menyebut proses pemilihan kepala desa Jikumerasa cacat.

“Kiat mau ke PTUN dasarnya apa? Kalau sudah ada keputuan berarti kita punya dasar, tapi selama ini kan dia (Pemkab Buru) tidak mengeluarkan keputusan pembatalan. Jadi kami menganggap sebagai orang yang menang, jadi paling kita bersurat,” ungkapnya.

Dia pun berharap Pemkab Buru tidak lagi mengebiri hak politik dan demokrasi orang lain dan segera menindaklanjuti berbagai rekomendasi baik dari Pemprov Maluku, Komnas HAM maupun Komisi A DPRD Maluku.

“Harus ada keadilan untuk semua orang orang yang punya hak yang sudah terpilih sesuai aturan. Jadi harus dilantik karena itu hak demokrasi, itu perintah undang-undang harus dilantik tidak ada lasan lain. Jadi cara-cara menjegal hak orang itu harus ditiadakan negara kita ini sudah merdeka cukup lama, hak-hak orang itu harus dilindungi karena itu diatur undnag-undnag bukan orang –perorang,” ungkapnya.

Melanggar HAM  

Menanggapi masalah tersebut, Ketua Komnas HAM Perwakilan Maluku, Benediktus Sarkol mengungkapkan, persoalan yang terjadi di Desa Jikumerasa harus menjadi perhatian serius Pemkab Buru.

Komnas HAM Perwakilan Maluku sendiri telah mengeluarkan rekomendasi dan meminta Pemkab Buru segera menindaklanjuti hasil pemilihan kepala desa Jikumerasa dan segera melantik kepala desa terpilih.

“Pemerintah harusnya tidak boleh ragu-ragu untuk mengeksekusi sesuatu yang sudah ada dasar hukumnya dan menjadi hak masyrakat. Kenapa harus ragu? Kalau ada proses yang salah, pemda harus pastikan tidak boleh dilantik itu karena alasannya ini dan itu bukan diam,” ungkapnya kepada Kompas.com, Selasa .

Benediktus mengaku heran karena meski sudah tiga kali ada surat rekomendasi dari Komnas HAM perwakilan Maluku dan juga rekomendasi dari Pemprov Maluku hingga juga DPRD Maluku, kepala desa Jikumerasa terpilih belum juga dilantik.

Dia mengakui rekomendasi ke Pemkab Buru tidak memiliki konseukensi hukum jika tidak dijalankan.

Namun sebagai pemerintah yang baik, pemerintah daerah harusnya punya good willuntuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di daerahnya.

“Memang saya sadari rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum, tapi pemerintahan yang baik itu punya good will  tanpa harus ada rekomendasi sudah harus dijalankan. Apalagi ada rekomendasi, nah itu harus menjadi perhartian,” ungkapnya.

Benediktus menduga persoalan yang terjadi di Desa Jikumerasa ini dilatarbelakangi oleh persoalan politik di daerah itu. Sehingga persoalannya tidak selesai sampai saat ini.

Dia menambahkan dalam kasus tersebut pemerintah daerah atau kepala daerah harusnya bijak dan tidak memiliki tendensi apapun.

Sebab masalah tersebut sangat berkaitan dengan kepentingan banyak orang.

“Kewajiban pemerintah selaku pemangku kepentingan adalah mentaati kententuan perundang-undangan dan melindungi hak asasi manusia. Kalau tidak sama halnya melanggar HAM,” katanya.

Selain di Desa Jikumerasa, Benediktus mengaku persoalan yang sama juga terjadi di banyak desa di Kabupaten Maluku Tenggara.

Bahkan dalam hasil kunjungannya ke wilayah itu ditemukan ada desa yang puluhan tahun masih dipimpin oleh penjabat desa.

Sementara itu Kepala Biro Hukum Pemerintah Kabupaten Buru, Fahmi Lessy yang dimintai tanggapannya mengatakan, tidak mengetahui pasti kasus tersebut karena baru menjabat sebagai Kepala Biro Hukum.

“Saya kurang paham dengan masalah itu karena saya ini baru di tempat ini, jadi belum menelusuri permasalahannya seperti apa,” katanya saat dikonfirmasi Kompas.com.

Dia mengaku Desa Jikumerasa sudah 10 tahun terakhir tidak memiliki kepala desa defenitif, dan hanya dipimpin oleh penjabat desa yang ditunjuk Pemkab Buru.

Fahmi mengaku tidak mengetahui apa penyebab hingga kepala desa terpilih di desa tersebut belum juga dilantik sampai saat ini.

"Saya tidak tahu kronologi kejadian itu, mekanisme-mekanisme kenapa sampai belum pelantikan itu saya tidak tahu  juga. Yang jelasnya bapak ke BPMD saja, itu gaung mereka. Saya seng tahu pasti, jadi nanti langsung ke BPMD saja Pak, terima kasih,” ungkap Fahmi sambil menutup sambungan telepon.

Gubernur Maluku, Murad Ismail sebelumnya mengaku ada sejumlah desa di Maluku yang sudah sekitar 20 tahun lamanya masih dipimpin oleh penjabat desa.

Hal itu diungkapkannya saat menghadiri acara penandatangan MoU pengawasan dana desa dengan Polda Maluku dan Kejati Maluku di gedung Islamic Center Ambon Selasa (25/2/2020).

Terkait masalah itu, Murad mengaku akan mengeluarkan Peraturan Gubernur Maluku agar masalah yang terjadi di desa-desa itu dapat segera diatasi.

Dia pun menegaskan dalam waktu enam bulan masalah tersebut tidak akan lagi ada di Maluku.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar