Cerita Pendek

Di Langit, Rembulan Ada Dua

Ilustrasi. Sumber Foto: Detik.com

Nusaperdana.com, Jakarta - Sekarang pukul dua belas siang. Aku menuntaskan kecemasanku dengan menyeruput cepat sisa kopi dari cangkir yang berada di genggaman. Di lantai tiga ini, aku mendekatkan wajahku ke kaca gedung. Kaca ini begitu bening hingga tampak tidak nyata. Seakan dapat dengan mudah ditembus. Aku merasa bila sedikit lagi maju, kakiku akan tergelincir dan jatuh dari ketinggian ini. Maka, aku segera mundur dan memilih bersandar pada tembok sambil tetap mengarahkan pandangan ke luar.

Gedung ini bersebelahan dengan kampus tempat Santi pernah kuliah. Semestinya, hari ini aku menghadiri wisudanya. Di lapangan auditorium, orang-orang terlihat berkerumun. Dengan mudah aku bisa memandang penuh keluasan dari ketinggian gedung ini. Aku melihat wisudawan yang menggandeng pasangannya, tertawa terlalu lebar, tampak sengaja memamerkan gigi saat akan dipotret. Dan kemudian melompat bahagia sambil melempar toga ketika pemegang tustel berseru pada hitungan ketiga.

Tangan-tangan menjulur, menggapai buket bunga. Oh, Santi di mana? Santi tidak ada di kerumunan itu. Ia juga tidak ada di antara gadis-gadis yang menjulurkan buket bunga. Aku membayangkan Santi sedang duduk, sendirian, kakinya diselonjorkan, bertopang dagu dengan pandang sedih tanpa buket bunga di genggaman.

Aku bergerak gelisah. Lalu menyeruput kopi. Aku baru tersadar, sedikit takjub. Di antara puncak gedung lainnya, di titik yang cukup jauh, aku melihat dua balon raksasa. Dua balon udara, yang satu berukuran besar dan yang satunya sedikit lebih kecil. Rupanya festival itu masih berlangsung, gumamku. Mereka belum menurunkan dua balon udara raksasa itu. Dua balon udara itu mengingatkanku dengan obrolan bersama Santi dari balkon rumah kami.

Ketika itu, kami tidak ingin tidur cepat, masih ingin menikmati malam sambil meminum dua gelas anggur. Aku terkesima. Ada yang menyala dari kejauhan dan terlihat begitu jelas dari balkon kami.

"Lihat! Bukankah bulan ada dua?" seruku sambil menunjuk ke arah dua bulan yang mengambang.

Santi tertawa. "Itu bulan? Bukan! Itu lampu raksasa. Eh, lebih tepat balon udara kupikir. Mereka menyalakannya saat malam hari."

"Itu bulan. Benar-benar bulan. Tidakkah kau lihat? Coba kau lihat lagi dengan cermat!"

"Memang tampak seperti bulan. Kau belum melihat seluruhnya. Gedung itu terlalu tinggi, menutupi sebagian balon udara itu. Ayo, kita ke lapangan suatu saat melihatnya langsung." Santi lalu menjelaskan, ia pernah ke lapangan dan melihat di permukaan kedua balon udara itu tertulis untaian kalimat penyemangat untuk memandang masa depan dengan gairah membara. Wabah telah usai dan inilah bentuk perayaannya. Mereka memasang lampu besar di dalamnya. Orang-orang di lapangan itu berkumpul setiap malam sambil berfoto ria di bawah cahaya balon udara itu.

"Mereka merayakannya terlalu berlebihan. Apa tidak ingat masa wabah dulu?"

"Biar saja. Bayangkan kita sudah terkurung dua tahun. Apa salahnya bersenang-senang sedikit?"

Aku melihat Santi dengan pandang serius. "Bagaimana menurutmu? Bagaimana kalau seandainya ada dua bulan di langit?"

Santi menggerutu, memandang dengan tatapan tidak senang. "Nah, kau mulai lagi. Jangan terlalu sering membaca Murakami. Seandainya ada dua bulan di langit. Seandainya... Aku akan tetap menjadi ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja. Dunia akan kiamat karena dunia tidak ingin melihatku menjadi sarjana. Kau mengerti, tidak?"

Dan kini aku masih terjebak bersama para pegawai balai bahasa yang mengoceh tanpa henti tentang kesulitan mereka dalam menulis cerita. Lalu dengan rasa putus asa yang teramat sangat aku memberi waktu tambahan bagi mereka untuk menyelesaikan cerita dengan tema dua bulan di langit. Mereka awalnya memprotes dan bertanya apakah tidak ada tema yang lain. Aku menggunakan kekuasaanku sebagai pemateri kelas menulis. Aku menjelaskan akulah yang berhak menentukan temanya.

Aku memberikan tema yang sedikit liar. Bayangkan ada dua bulan di langit. Dan tulislah cerita seperti apa saja, asalkan ada dua bulan di langit. Ini untuk melatih imajinasi kalian. Bayangkan ada dua bulan di langit dan lihat apa yang terjadi.

Seorang peserta laki-laki bertampang sangar bangkit dari kursinya. Ia memaki-makiku dengan kata-kata paling kasar yang pernah kudengar. Ia mengatakan betapa jenuhnya ia mendengar ceramahku mengenai perkembangan sastra dari era lama menuju era kini. Ia juga mengumpat pemerintah karena telah menghabiskan anggaran untuk mengadakan kelas menulis cerita bagi para pegawai negeri.

"Memang apa pentingnya menulis cerpen bagi keseharian kami?" teriaknya. Suasana tegang. Semua mata memandang. Jantungku berdebar sangat keras. Aku juga ingin berteriak padanya. Aku ingin mengatakan aku juga tidak ingin bersama kalian. Pegawai bertampang tolol. Seharusnya aku bersama Santi sekarang, menghadiri wisudanya. Tapi, kata-kataku tertahan di tenggorokan. Tercekat dan terasa amat kering.

Aku begitu lelah dan segera pergi keluar, berdiri menghadap kaca gedung untuk mencari-cari Santi di antara kerumunan. Apakah Santi akan menjadi satu-satunya wisudawan yang tidak menerima buket bunga? Karena aku, suaminya masih terjebak di sini dan belum dapat membebaskan diri.

Aku sering keliru menyebut nama Santi dengan memanggilnya sebagai Sinta. Nama Santi dan Sinta terasa amat dekat. Tiap kali aku keliru menyebut namanya, Santi tertawa. Ia meninju lenganku sambil berkata bahwa ia tidak akan pernah cemburu. Katanya, kalau aku ingin menggodanya dengan sengaja mengubah namanya menjadi Sinta, nama mantan kekasihku, maka aku telah gagal. Benar-benar gagal sebab ia tidak akan pernah cemburu.

Aku sendiri tidak memahami mengapa pada waktu-waktu tertentu aku selalu salah menyebut namanya. Aku bermaksud memanggil Santi, tapi yang keluar adalah Sinta. Padahal, bayangan tentang Sinta telah lama menghilang jauh. Seperti cinta sekolah rakyat, tak begitu berkesan dan terlupakan begitu saja. Seharusnya, aku mengatakan hal ini padanya. Tidak ada yang perlu disesali, Santi. Malam-malam ketika ia mengingau, ia menangis. Wajahnya bersimbah keringat. Aku membangunkannya dan bertanya ada apa. Ia masih merasa menyesal telah menikah muda dan melewatkan banyak hal yang ia pikir lebih berguna. Apakah kau juga menyesal aku menjadi suamimu? tanyaku kala itu. Samar-samar aku mendengar kalimat "aku ingin kita berpisah". Entah siapa di antara kami yang benar-benar mengatakannya.

Oh, aku tak dapat membayangkannya lebih lama lagi. Untuk kesekian kali aku melihat ke arah kerumunan. Apakah Santi akan menjadi satu-satunya ibu rumah tangga yang tanpa pendamping di hari wisudanya? Ibu rumah tangga yang terlambat menyelesaikan pendidikannya tersebab menikah muda, juga karena wabah kota yang bertahun-tahun menunda kelulusannya.

Aku tertegun dari lamunanku. Seorang peserta pelatihan penulisan cerita pendek menghampiriku dan mengatakan ia telah menyelesaikan ceritanya. Aku melihat jam tangan lalu segera sadar tenggat waktu yang kuberikan memang sudah habis. Aku melihat lembaran kertas berisi tulisan tangan yang diserahkannya. Kertas itu tampak cemong-cemong dengan tulisan tangan yang benar-benar tidak dapat diterka bentuknya. Berusaha keras membaca kalimat pertama pada naskah cerpen itu sudah membuatku sangat menderita dan putus asa.

Peserta itu tersenyum tipis. Ia seorang laki-laki yang masih muda. Ia mendekatkan dirinya ke arahku, hampir seperti melakukan gerakan merangkul. Aku sedikit terkejut menyaksikan sikapnya dan dengan segera memasang sikap siaga.

"Manakah yang lebih utama dalam penulisan? Pengalaman empiris atau pengalaman intelektual?" tanyanya sambil berbisik.

"Tidak ada yang lebih utama. Alangkah baiknya kalau keduanya saling menopang," kataku. Diam-diam aku memujinya. Pertanyaan yang bagus, pikirku. Ternyata ada juga di antara para pegawai yang rata-rata bertampang malas itu mengajukan pertanyaan yang kupikir agak lumayanlah.

"Nah, baiklah," katanya sambil tetap menyunggingkan senyum tipis. "Soal dua bulan itu, Bung! Soal dua bulan itu, tidak ada pengalaman empiris saya perihal dua bulan. Saya tidak pernah melihat dua bulan. Membayangkan suatu hari akan melihatnya secara langsung saja tidak. Tapi, saya membaca Murakami. Bung tahu novel 1Q84 itu? Di sana ada cerita tentang dua bulan. Jadi, saya sedikit mengambil inspirasi dari sana. Lalu menambahkan isi ceritanya di sana-sini. Itu satu-satunya pengalaman intelektual saya terkait dua bulan di langit. Mungkin Bung mau membacanya dan kemudian membandingkan dengan cerita saya." Ia tersenyum tipis lagi dan segera berlalu.

Hari menjelang sore. Semua urusan terkait pelatihan penulisan telah selesai. Aku segera berlari menuruni tangga gedung. Berlari sekuat tenaga hingga keluar dari sana dan mencapai tembok yang membatasi gedung bahasa keparat milik pemerintah ini dengan kampus Santi. Masih ada waktu, pikirku. Kerumunan masih terlihat memenuhi lapangan auditorium. Rupanya, para wisudawan belum cukup puas untuk mengambil potret-potret terbaik mereka. Apa katanya tadi? Apa kata peserta pertama yang menyelesaikan cerita itu? Ia tak punya pengalaman empiris tentang dua bulan di langit. Ia hanya punya pengalaman intelektualnya.

Tentu saja ia berbeda denganku. Setidaknya, aku pernah menyaksikan dua bulan dari balkon rumahku bersama Santi. Aku punya dua pengalaman. Dua bulan Murakami dan dua bulan palsu dari balkon itu. Aku akan mengajak Santi malam ini ke lapangan terbuka, tempat dua balon udara raksasa itu berada, tempat orang-orang berkumpul mengingat semua kenangan pahit tentang wabah penyakit menular yang pernah melanda kota dua tahun lalu.

Aku berkeliling mencari Santi. Menyebut namanya berkali-kali. Seperti berniat menghapalkan satu kata yang tidak rumit, namun menyimpan misteri tersendiri karena seolah nama itu tidak membiarkan dirinya merekat di mulutku. Santi, Santi, Santi, di mana dirimu?

Aku menghampiri kerumunan wisudawan yang seingatku kawan-kawan sejurusan Santi. Aku bertanya dengan sopan. Mereka terkejut melihatku, tampak terbingung-bingung dan saling melihat satu sama lain.

"Sinta? Sinta siapa?"

"Tak ada yang bernama Sinta di sini."

Pejarakan, Mei 2020

Iin Farliani lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Menulis cerpen, puisi, dan esai. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Lombok. Kumpulan cerita pendek pertamanya berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019).



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar