Peneliti LIPI, R. Siti Zuhro

Outlook Politik 2020

Peneliti LIPI, R. Siti Zuhro. Sumber Foto: Tribunnews.com

DEMOKRASI SELAMA 2019

Demokrasi kurang berkualitas karena pilar-pilarnya belum kokoh dan belum berbenah diri. Partai politik terjebak oligarki, bahkan konglomerasi. Para elite politik tak henti bermanuver hanya untuk menyelamatkan kepentingan diri dan kekuasaan. 

Demokrasi partisipatoris dengan pilpres dan pilkada langsung (dari, oleh dan untuk rakyat) tidak benar-benar untuk rakyat. Rakyat hanya dijadikan tameng politik saja. Demokrasi kita bertopeng. 

Pemilu serentak (pileg dan pilpres) yang semestinya memberikan pembelajaran positif kepada rakyat tentang esensi pemilu, realitasnya malah membuat relasi antar rakyat tidak harmonis. 

Kompetisi dan kontestasi tak dilakukan dengan penuh kesadaran dan kedewasaan tinggi dan menghormati sesama. Pelanggaran pemilu marak sehingga sengketa pemilu tak terhindarkan.

Pasca pemilu  disharmoni sosial makin menjadi: konflik dan atau kerusuhan di bulan Mei 2019 menjadi bukti. Meskipun telah ada “rekonsiliasi” antar elite, di tataran  komunitas/masyarakat belum cair.

Lantas bagaimana prospeknya ke depan?

Bertolak dari kondisi existing seperti itu, masa depan demokrasi dan politik Indonesia bisa jadi akan suram (gloomy). Demokrasi tak naik kelas. Demokrasi di persimpangan jalan karena tarikan untuk kembali ke sistem otoritarian makin kencang. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kualitas pemerintahan. 

Upaya untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik tampaknya akan banyak kendala. Bahkan pemerintah akan makin sulit meyakinkan masyarakat bahwa aspirasinya diakomodasi. 

Checks and Balances Eksekutif-Legislatif

Pengalaman Indonesia menunjukkan format relasi yang tadinya hanya ingin membangun checks and balances antara eksekutif dan legislatif, ternyata malah membangun format baru relasi presiden-DPR yang sarat legislatif (legislative heavy).

Amandemen UUD 1945 dilakukan agar berjalannya sistem presidensiil tidak lagi dimonopoli oleh seorang Presiden seperti era sebelumnya.

Format sistem presidensiil yang dipadu dengan sistem multipartai memang menimbulkan persoalan tersendiri dalam praktik relasi Presiden-DPR. Sehingga siapapun presidennya akan berusaha mendapatkan dukungan politik sebesar-besarnya unttuk mengamankan dan memantapkan pemerintahannya. 

Koalisi partai yang mendukung pemerimntahan Jokowi-Makruf tergolong sangat besar saat ini. Padahal untuk memungkinkan mekanisme checks and balances efektif, kekuatan pendudkung dan nonpendukung tidak terlalu jomplang. Penguatan sistem presidensiil dengan penegedepanan mekanisme checks and balances akan menjadi jargon saja karena partai-partai cenderung lebih memilih untuk menjadi partai pendukung kekuasaan.

Fenomena tersebut berpengaruh terhadap terwujudnya pemerintahan yang baik karena kurangnya pengawasan secara konstruktif dari DPR. Sensitivitas pemerintah terhadap kebutuhan rakyat juga akan berkurang seiring dengan berkurangnya atensi penguasa kepada rakyat. Kebijakan yang dibuat cenderung elitis, hanya mempertimbangkan persetujuan antar elite saja. Parpol bukan rumah demokrasi yang mengedepankan kepentingan rakyat. Tapi parpol menjadi rumah para elite yang kepentingan-kepengannya harus senantiasa dijaga dengan baik. 

Menguatnya Rasa Ketidakadilan

Kesenjangan sosial ekonomi akan memicu konflik. Senjangnya  pemenuhan hak individual baik hak sipil dan politik serta ekonomi dan sosial menjadi dahan kering yang mudah terbakar.

Artinya akan muncul konflik sosial ketika pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) terkait 4 hal dirasakan sangat tak memadai, yaitu :

(a) kesetaraan tanpa adanya diskriminasi;

(b) harkat dan martabat tak dijunjung tinggi;

(c) komitmen untuk berpartisipasi;
 
(d) kebebasan individu terkait pengembangan diri.

Keempat hal tersebut saling terkait dan saling tergantung satu sama lain. Karena itu, untuk mewujudkan kohesi sosial yang didasari oleh kesejahteraan masyarakat diperlukan keseimbangan akan empat instrumen tersebut. Lantas bagaimana menciptakan kohesi sosial dalam masyarakat yang menjalankan sistem demokrasi dan desentralisasi.

Mampukah sistem tersebut mewujudkan lingkungan yang mengedepankan nilai-nilai budaya demokrasi, nilai-nilai positif yang bisa saling memperkuat (empowering), bukan saling menegasikan. Mampukah desentralisasi menjadi bridging yang mendekatkan rakyat ke pemda dan mendorong munculnya kluster-kluster ekonomi baru yang bisa bermanfaat bagi kemajuan/kemakmuran rakyat.

Membangun Indonesia berarti pula menjaga keutuhan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan pembangunan SDM dan pengurangan kesenjangan sosial atau ketidakmerataan pembangunan ekonomi antar daerah.

Artinya, Indonesia harus mampu mewujudkan pembangunan yang mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Karena pada dasarnya permasalahan bangsa Indonesia yang paling krusial adalah bagaimana negeri ini mampu menyejahterakan rakyatnya.

Karena itu, diperlukan komitmen dan konsistensi para pengurus negara untuk membangun Indonesia dari daerah atau membangun Indonesia dari desa.

Demi kesinambungan NKRI dan untuk memupuk kesatuan nasional dan rasa nasionalisme serta menciptakan hubungan yang harmonis antara kommunitas dan antar elemen/kekuatan dalam masyarakat, maka kekecewaan dan ketidakadilan harus dihentikan dan dienyahkan di Indonesia.

Membangun rumah Indonesia dengan melaksanakan sistem demokrasi berarti pula membangun dignity dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar